PRINSIP PENDIDIKAN ORANG DEWASA
Pertumbuan orang dewasa
dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, dimana setiap
individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan diri sendiri
tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai
pribadi yang mandiri yang memiliki identitas diri. Dengan begitu orang dewasa
tidak menginginkan orang memandangnya apalagi memperlakukan dirinya seperti
anak-anak. Dia mengharapkan pengakuan orang lain akan otonomi dirinya, dan
dijamin ketentramannya untuk menjaga identitas dirinya dengan penolakan dan
ketidaksenangan akan setiap usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan
manipulasi tingkah laku yang ditujukan terhadap dirinya. Tidak seperti
anak-anak yang beberapa tingkatan masih menjadi objek pengawasan, pengendalian
orang lain yaitu pengawasan dan pengendalian orang dewasa yang berada di sekeliling,
terhadap dirinya.
Dalam kegiatan
pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang
seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan
keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan
kegiatan belajar atau pendidikan orang dewasa tentunya lebih mengarah kepada
pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri;
atau, kalau meminjam istilah Rogers dalam Knowles (1979), kegiatan belajar
bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya.
Dalam hal belajar atau pendidikan merupakan process of becoming a person. Bukan
proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan
manipulasi Buntuk sesuai dengan orang lain; atau, kalau meminjam istilah Maslow
(1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri
(self-actualization).
Uraian di atas sesuai
dengan konsepsi Rogers dalam Knowlws (1979) mengenai belajar lebih bersifat
client centered. Dalam pendekatan ini Roger mendasarkan pada beberapa hipotesa
berikut ini :
1. Setiap
individu hidup dalam dunia pengalaman yang selalu berubah dimana dirinya sendiri
adalah sebagai pusat, dan semua orang mereaksi seperti dia mengalami dan mengartikan
pengalaman itu. Ini berarti bahwa dia menekankan bahwa makna yang datang dari
makna yang dimiliki. Dengan begitu, belajar adalah belajar sendiri dan yang tahu
seberapa jauh dia telah menguasai sesuatu yang dipelajari adalah dirinya
sendiri. Dengan hipotesa semacam ini maka dalam kegiatan belajar, keterlibatan
siswa secara aktif mempunyai kedudukan sangat penting dan mendalam.
2. Seseorang
belajar dengan penuh makna hanya apabila sesuatu yang dia pelajari bermanfaat
dalam pengembangan struktur dirinya. Hipotesa ini menekankan pentingnya program
belajar yang relevan dengan kebutuhan siswa, yaitu belajar yang bermanfaat bagi
dirinya. Dan tentunya ia akan mempersoalkan kebiasaan belajar dengan mata pelajaran
yang dipaksakan atas dirinya, sehingga seolah-olah dirinya tidak berarti.
3. Struktur
dan organisasi diri kelihatan menjadi kaku dalam situasi terancam, dan akan mengendorkan
apabila bebas dari ancaman. Ini berarti pengalaman yang dianggap tidak sesuai
dengan dirinya hanya dapat diasimilasikan apabila organisasi diri itu
dikendorkan dan diperluas untuk memasukkan pengalaman itu. Hipotesa ini
menunjukkan realitas Bbahwa belajar kerap kali menimbulkan rasa tidak aman bagi
siswa (siswa merasa tertekan). Untuk itu, dianjurkan pentingnya pemberian iklim
yang aman, penerimaan, dan saling bantu dengan kepercayaan dan tanggung jawab
siswa.
4. Perbedaan
persepsi setiap siswa diberikan perlindungan. Ini berarti di samping perlunya memberikan
iklim belajar yang aman bagi siswa juga perlu pengembangan otonomi individu
dari setiap siswa.
Hipotesa diatas
memperkuat perkembangan dan terbentuknya teori mengenai teori belajar orang dewasa,
dan lebih jauh mempengaruhi perkembangan teknologi membelajarkan orang dewasa. Seperti
telah disebutkan di atas bahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah
tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu
keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan
dirinya sendiri. Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja
juga memiliki kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai
perkembangan psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat
berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai
perkembangan pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah
dapat memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang
kompleks atau secara singkat sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya.
Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau
identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya.
Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat
mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan
benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan
dan membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan
dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah
tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus
sampai mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah
kiranya bahwa pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan
dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai
yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak
pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan
"pengertian diri" (sense of identity). Selanjutnya, Knowles (1970)
mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan
pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut. Asumsi Pertama,
seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dari ketergantungan total
menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan
pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep
dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah orang dewasa
membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri
sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya
menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak.
Asumsi kedua,
sebagaimana individu tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman
dimana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu
yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh
karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik
transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih
mengembangkan teknik pengalaman (experimental-technique). Maka penggunaan
teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya
lebih banyak dipakai. Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara langsung atau
tidak langsung, secara implisit ataueksplisit, pasti memainkan peranan besar
dalam mempersiapkan anak dan orang dewasa untuk memperjuangkan eksistensinya di
tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh
untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat
(Kartini Kartono, 1992). Selajan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap
individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang ditentukan oleh
paksaan akademik dan perkembangan
biologisnya, tetapi lebih ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk
melakukan peranan sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu
karena membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi
peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan
lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik,
tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya. Asumsi
keempat, bahwa anak-anak sudah dikondisikan untuk memiliki orientasi belajar
yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered orientation) karena belajar
bagi anak seolah-olah merupakan keharusan yang dipaksakan dari luar. Sedang
orang dewasa berkecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada
pemecahan masalah kehidupan (problem-centered-orientation). Hal ini dikarenakan
belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi
masalah hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar